Bila kita sedang duduk di bangku sekolah, ujian dilakukan agar kita naik kelas. Pada saat kuliah, ujian kita jalani agar kita bisa naik tingkat ke yang lebih tinggi. Sementara dalam hidup, ujian bisa jadi sarana penghapusan dosa kita dan peningkatan derajat kita di mata NYA.
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS Al Ankabuut : 2)
Ujian terkadang datang bagaikan palu godam yang menghantam atau berupa beban berat yang menggayut di pundak. Kadang pula serasa menekan dan menyesakkan dada. Dunia terasa gelap dan sempit. Cahaya redup berpendar-pendar. Ya, terkadang kita merasa tidak kuat menahan ujian hidup ini. Beranggapan bahwa Allah (Tuhan) tidak adil terhadap kita, dan mulai berprasangka buruk terhadap Nya (astaghfirullah).
Padahal, ujian itu sebenarnya adalah bukti kasih sayang Nya kepada kita. Ujian terkadang ada yang terasa manis (misalnya ujian berupa harta benda/kekayaan), adakalanya juga terasa pahit (musibah/cobaan). Sama seperti halnya ujian saat kita sekolah/kuliah, adakalanya mudah untuk dilalui, adakalanya juga sulit untuk dilalui. Ujian juga merupakan "sentilan" kepada kita, bila kita telah "menyimpang" dari jalan yang telah diajarkan Nya.
Sahabat, menolehlah ke sekitar. Lihatlah, ada jiwa lain yang juga diuji olehNya. Dan ia tegar. Padahal, sepertinya ujiannya begitu berat. Melihat ke ujian diri sendiri ternyata bagai debu saja. Tuhan pasti tahu apa yang terbaik buat umat Nya. DiberiNya cobaan, diberiNya pula kekuatan untuk menghadapi Nya. Semua sesuai kapasitas. Menolehlah Sahabat.
Setiap jiwa mendapat soal ujian. Dan setiap jiwa telah disediakan jawaban. Hanya, sudahkah kita menggali dan mencari jawaban-jawaban dariNya???
Sekolah, bukanlah sekolah jika tanpa ujian. Begitu pula hidup, hidup adalah sebuah sekolah abadi. Dan ujian adalah sebuah pengharapan. Terhapusnya dosa atau naiknya derajat di mataNya.
Wallahu alam bissawab, semoga bermanfaat....
Baca Selengkapnya...
10 September 2009
UJIAN
03 September 2009
Menari Di Tengah Hujan
Pagi itu di suatu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30 seorang pria berusia 70-an tahun datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya. Seorang suster menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masih sibuk, mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.
Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik ke jam tangannya. Sang suster pun merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang, dia sempatkan untuk memeriksa luka sang pria, dan nampaknya cukup baik dan kering, tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, sang suster pun memutuskan untuk melakukannya sendiri..
Sambil menangani luka sang pria, dia bertanya apakah punya janji lain hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu menjawab tidak, dia hendak ke rumah jompo untu makan siang bersama istrinya, seperti yang dilakukannya sehari-hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer.
Lalu ketika ditanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir. Sang suster pun sangat terkejut dan berkata, “Dan Bapak masih pergi ke sana se tiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi?” Lelaki tua itu tersenyum ketika tangannya menepuk tanganku sambil berkata, “Dia memang tidak mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia, ‘kan?”
Sang suster pun terus menahan air mata sampai kakek itu pergi, tangannya masih tetap merinding, “Cinta kasih seperti itulah yang aku mau dalam hdupku” gumamnya dalam hati.
Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.
Bagi saya, moral penting dari cerita ini adalah: Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, mereka hanya berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki. “Hidup bukanlah perjuangan menghadapi badai, tapi bagaimana tetap menari di tengah hujan.”
Selamat bertemu kembali teman-teman semua, maafkanlah diriku yang telah lama melalaikan "blog" ku tercinta ini. Semua itu diluar kuasaku. Semoga kalian semua merindukanku ...... :-D
16 Juli 2009
Haruskah Hati Menciptakan Jarak??
Hati adalah cermin, cermin bagi diri kita. Ketika satu kesalahan kita biarkan, kemudian dosa dan kesalahan kedua kita lupakan dengan alasan "nanti aja lah minta maafnya, nanti aja lah tobatnya", kemudian satu titik itu menjadi menggumpal, berkarat dan menghitam. Jangankan untuk bercermin, mungkin untuk membedakan mana diri kita yang sebenarnya dan mana yang kotoran saja sudah tidak bisa lagi. Artinya jiwa kita sudah tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah dan pada saat itulah segala nasehat mungkin sudah tak lagi masuk ke hati kita, karena hati kita sudah kotor, tertutup oleh dosa dosa yang berbuah kesombongan untuk mendengar nasehat.
Sementara hati yang jernih akan jelas terlihat dari pembawaan raga kita, karena hati adalah cerminan jiwa yang terlihat kasat mata secara raga. Sehingga semua orang yang berada disekitar kita akan dapat bercermin juga karena beningnya hati kita ketika menolong dan bergaul dengan sesama makhluk ciptaan Nya.
Ketika hati kita keruh yang terlihat pasti adalah wajah yang kusam karena tidak bisa senyum tertindih oleh gundah gulana yang menjadi akibat dari penyakit hati itu sendiri, yang terlihat kemudian adalah salah arah, salah mengambil keputusan karena hati tidak tenang ketika melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan atau tindakan. Bahkan yang timbul mungkin hanya luapan emosi dan kemarahan.
Untuk lebih memahaminya, bisa di lihat dari percakapan antara seorang guru dan murid di bawah ini:
Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab,
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"
Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satu pun jawaban yang memuaskan. Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu merekaterpaksa berteriak lebih keras lagi."
Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apa pun, keduanyabisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambilmemperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan, "Ketika Anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu Anda."
Nah, sekarang saya kembalikan kepada diri teman masing-masing, apakah hati kita sudah bersih dari segala rasa iri, dengki, dendam, amarah dll?? Ataukah hati kita masih kotor? Karena semakin kotor hati kita, maka "jarak" kita akan semakin jauh dengan sahabat, kerabat dan handai taulan kita.
Semoga bermanfaat.
Baca Selengkapnya...
16 Juni 2009
What We Get is What We Want To Get
Sebagai orang yang berusaha "membudidayakan" kata maaf dalam kehidupan sehari-hari, ijinkanlah kali ini saya memohon maaf lagi kepada teman-teman semua jika akhir-akhir ini saya jarang berkunjung ke blog teman-teman semua atapun memberikan komentar atau sapaan di blog teman-teman. Walaupun bagi sebagian orang (mungkin) merasa pantang untuk mengucapkan kata "ajaib" yang satu ini, karena banyak anggapan bahwa orang yang meminta maaf akan dianggap lemah, kalah, atau tidak berdaya. Tapi bagi saya, memohon maaf berarti menunjukkan rasa rendah hati saya sebagai seorang manusia biasa yang tidak mungkin luput dari kesalahan. “Maaf” juga dapat membantu kita dalam ‘proses mengampuni’ diri sendiri - yang pada akhirnya dapat membawa ke proses ‘mengampuni orang lain’. “Maaf” bukan berarti kalah, sebaliknya, maaf membuat kita belajar menghargai orang lain yang pada akhirnya akan membawa ‘kemenangan tak terduga’ pada diri kita - “Maaf” memberi pelajaran bahwa ‘kebenaran adalah hak bagi semua orang’. Dan jangan takut untuk meminta maaf! Jangan pernah khawatir “Maaf”-mu tidak diterima. Bukankah di dalam lubuk hati terdalam setiap manusia, akan selalu ada keinginan untuk memaafkan dan mengampuni orang lain?
Nah, sekarang kembali ke laptop.. eh salah, kembali ke Topik. Kali ini saya akan sharing tentang sebuah cerita.
Alkisah ada seorang psikolog yang terkenal melakukan sebuah eksperimen luar biasa. Dia dan timnya memberikan sebuah tes IQ kepada seluruh murid di suatu sekolah sebelum akhir masa sekolah. Kemudian mereka memilih sepuluh siswa dan mengatakan pada setiap guru dari siswa itu, “Kesepuluh siswa ini akan berada di kelas Anda. Kami tahu dari tes mereka bahwa secara teknis mereka memang siswa yang cerdas. Anda akan melihat bahwa mereka semua akan menjadi yang teratas di dalam kelas mereka pada tahun ajaran berikutnya. Anda harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini kepada setiap murid, karena akibatnya akan merugikan mereka. ”
Dan para guru itu pun berjanji untuk tidak mengatakan apa pun kepada para siswa tersebut. Padahal kenyataannya adalah bahwa tak satu pun siswa dari daftar tersebut benar-benar cerdas. Kesepuluh anak itu pun hanya dipilih secara acak dan kemudian diserahkan pada guru untuk dididik dan dibina.
--------------------------------------------------------
Setahun kemudian para psikolog itu kembali ke sekolah tersebut. Mereka menguji seluruh siswa. Beberapa dari mereka yang dikatakan cerdas tersebut nilainya naik tiga puluh enam poin. Para psikolog itu mengadakan wawancara dan bertanya kepada para guru, “Menurut Anda bagaimana murid-murid ini?” Para guru itu pun segera menyahut dengan menggunakan kata-kata sifat seperti “pintar”, “dinamis”,“menyenangkan”, “menarik”, dan sebagainya.
Apa yang telah terjadi pada siswa-siswa tersebut seandainya para guru tidak berpikir bahwa mereka memang cerdas di kelas? Justru guru itulah yang telah mengembangkan seluruh potensi siswa-siswa tersebut.
Seseorang yang biasa sekalipun, jika ia dilatih, dimotivasi, dan dimaksimalkan, hasilnya akan seperti 10 siswa beruntung tadi. Meskipun ia dipenuhi keterbatasan. Kita lihat bagaimana seorang Thomas Alfa Edison, yang dianggap siswa lamban di kelasnya, akhirnya menjadi salah seorang penemu terbanyak di sejarah modern. Entah bagaimana jadinya jika ia diperlakukan seperti kesepuluh anak tadi, wah.. bisa bisa bom atom muncul lebih dulu sebelum jamannya Einstein.
Kita lihat juga seorang Hellen Keller yang sudah tuli, bisu, dan buta sejak dia berumur kurang dari 2 tahun. Sebagai seorang biasa, kita mungkin akan bingung bagaimana mengatasinya dan bagaimana mengajarinya. Barangkali kita akan berpikir sebaiknya ia dibiarkan hidup, dimanja dan dilayani, meski ia tidak akan tahu apa-apa sampai ajalnya. Namun tidak dengan orang-orang dekatnya. Mereka menemukan suatu cara mengkomunikasikan dengan anaknya lewat indra perabanya. Ia pun tidak dimanja, justru dididik dengan keras, hingga akhirnya kita tahu bahwa Hellen Keller, dengan segala keterbatasannya bisa menjadi seorang pengacara tenar dan penulis ternama di masanya.
IQ kita memang boleh biasa-biasa saja, namun jangan salahkan kita apabila suatu saat kita bisa melampaui seseorang yang dianggap paling jenius di negeri ini. Jangan pernah menganggap anda adalah seorang rakyat kecil, hanya karena anda tidak punya kekuasaan atas orang disekitar anda. Jangan pernah menganggap anda miskin hanya karena anda tidak bisa membiayai sekolah anda. Dan Jangan pernah menganggap Anda bodoh, hanya karena anda kalah pintar dengan pesaing Anda.
Ingat kata-kata seorang Thomas Alfa Edison yang dahulu pernah dicap bodoh oleh guru-gurunya:
"Keberhasilan itu hanya 1% kejeniusan. 99% -nya adalah kerja keras"
Anggaplah bahwa anda adalah orang yang "besar" (tentunya tidak harus dalam arti fisik) yang mampu membawa orang disekitar kita menjadi lebih baik, orang yang sangat kaya sehingga mampu bersedekah, dan orang yang sangat pintar sehingga mampu mengamalkan ilmu yang dimiliki. Namun tentu saja, janganlah Anda sombong dan Takabur hanya karena anda menganggap semua itu secara berlebihan. However, Allah is The Greatest. Tuhan adalah Yang Maha Segalanya.
Kondisikanlah orang-orang disekitar Anda untuk menganggap anda sebagai orang yang lebih, dan kelebihan itu lama kelamaan akan muncul dalam diri anda dengan lebih cepat dari sebelumnya. Jika anda tidak bisa mengkondisikan orang-orang disekitar Anda untuk menganggap anda seperti para guru diatas menganggap sepuluh siswa beruntung, alihkan guru itu dan siswa itu menyatu dalam diri Anda. Anda adalah seorang guru yang menganggap diri anda juga sebagai murid yang pandai. Insya Allah, kepandaian itu juga akan datang asalkan anda juga belajar dan berusaha untuk meraihnya. What We Get is What We Want To Get...
Good Luck ya.. sobat!!!
Baca Selengkapnya...
05 Juni 2009
Berbuat Kebaikan Tidak Ada Ruginya
"jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendir” (Al-Isra’:7)Setiap orang akan menuai apa yang ditanam
Tidak semua orang mampu berpikir panjang. Apalagi dengan perhitungan yang teliti. Itulah kenapa tidak sedikit yang melakukan sesuatu cuma buat keuntungan sesaat.
“Yang penting saya untung, peduli amat orang lain!”
Padahal, alam mengajarkan bahwa aksi sama dengan reaksi. Apa yang diterima alam, itulah yang akan diberikan ke manusia. Ada banjir karena keseimbangan alam terganggu: penebangan hutan, buang sampah ke sungai, dan lain-lain. Begitu pun dalam pergaulan sesama manusia. Kita akan menerima apa yang telah kita berikan. Jika kebaikan yang kita berikan, balasannya pun tak jauh dari kebaikan. Bahkan, mungkin lebih. Kita lihat tingkah para pedagang, baik barang maupun jasa, paham sekali rumus ini. Kalau mereka ingin mendapat kebaikan dari konsumen, pancingannya pun dengan sesuatu yang baik. Ada pedagang yang menyediakan air minum kemasan gratis, keramahan para pelayan, bahkan ruangan khusus untuk menunggu. Mereka menganggap: konsumen adalah raja.
Jika kita tidak ingin keburukan, begitu pun orang lain
Semua orang ingin mendapatkan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Tak ada yang ingin mendapatkan yang buruk. Cuma masalahnya, sikap itu tidak diiringi dengan aksi yang positif. Ketika menginginkan selalu ingin mendapatkan yang baik, tapi saat memberi selalu/sering yang buruk. Ayo, bener ngga sih??
Sebenarnya, ketika seorang melakukan sesuatu yang buruk, saat itu juga ia sedang berharap ada keburukan yang akan ia terima, baik itu disadari ataupun tidak. Sayangnya, jarang yang mau bercermin diri: apa yang telah saya lakukan? Lebih banyak mana: baik atau buruk? Baru kemudian, kenapa orang lain berbuat buruk pada saya?
Padalah Agama telah mengajarkan untuk membalas keburukan dengan cara yang terbaik.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
Ini memang berat. Ajaran ini lebih tinggi dari sekadar kebaikan berbalas kebaikan, dan keburukan berbalas hal serupa. Lebih dari itu, memberikan reaksi dari sebuah keburukan dengan sudut pandang positif. Dan hasilnya sangat luar biasa. Keburukan bukan hanya hilang, tapi berganti dengan kebaikan.
Berpikirlah apa yang bisa diberikan, bukan yang diterima
Semangat berbuat baik memang tidak akan tumbuh dari mereka yang punya sikap pasif. Ketika yang dipikirkan seseorang cuma bagaimana menerima, darimana datangnya penerimaan; seluruh otot aktivitasnya menjadi mandul. Semangat berbuat baiknya sudah mati sebelum fisiknya benar-benar mati. Tentunya, sulit mendapatkan sesuatu yang positif dari orang tipe ini. Jangankan membalas keburukan dengan kebaikan, mengawali kebaikan pun terasa berat. Semua aktivitasnya terkungkung dalam kalkulator sempit. Hitungannya selalu pada keuntungan materi sesaat. Bukan sesuatu yang lebih mahal dari sekadar materi. Antara lain, ketenangan, keharmonisan, cinta dan persaudaraan.
Tokoh Anwar Ibrahim mungkin salah satu contoh baik. Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia ini pernah difitnah secara keji. Tidak tanggung-tanggung, ia dituduh pelaku korupsi dan kejahatan homoseksual. Namun, seluruh warga tempat tinggalnya siap menjadi saksi: bahwa Anwar mustahil seperti yang dituduhkan. Itulah buah baik yang selama ini telah ditanam Anwar. Masyarakat sekitarnya, tanpa diminta pun, siap menjadi pembela.
Dari uraian di atas kita jadi tahu bahwa pada prinsipnya tidak ada ruginya kok berbuat baik kepada oranglain, bahkan kepada orang yang telah berbuat ”jahat” kepada kita. Capek klo tiap kali ada yang berbuat jahat pada kita, kita sibuk memikirkan untuk balas dendam atas kejahatan yang telah dilakukannya, dst...dst.. saling membalas dendam yang tidak ada akhirnya, itulah yang akan terjadi. Dan sepertinya hal seperti itu gampang sekali kita temukan saat ini.
Ingatlah bahwa Tuhan itu Maha Tahu, Maha Adil dan Tidak Tidur. Kebaikan kita sekecil apapun pasti akan dilihat Nya, dan akan bernilai pahala dimata Nya (asal dilakukan dengan ikhlas). So... .. tunggu apa lagi....berbuat baik yukkkk...
Baca Selengkapnya...
22 Mei 2009
Nasehat Untuk Diri Sendiri
Dalam hidup ini terkadang ada hal-hal yang tidak kita duga bisa terjadi. Persoalan seolah seperti gelombang yang datang silih berganti tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk sekedar bernafas, mengambil jeda satu persoalan ke persoalan yang lain. Penting untuk dijadikan pegangan bahwa jangan pernah berfikir bahwa hidup adalah untuk bersenang-senang, fikirkanlah hidup ini adalah untuk berjuang karena sesungguhnya hidup ini adalah lahan untuk perjuangan. Kalau kita membayangkan hidup ini untuk bersenang-senang maka pastilah banyak yang mengecewakan dalam hidup ini. Kalau yang kita fikirkan adalah berjuang, niscaya banyak kesenangan yang akan kita dapatkan.
Pikiran dan keinginan setiap orang tidaklah selalu sama, tidaklah mudah atau hampir mustahil untuk mengakomodasi semua keinginan itu, tetapi berpihak pada satu keinginan orang bukanlah sikap yang adil. Objektif, netral dan kemandirian sikap adalah kompromi terbaik yang bisa ditempuh.
Pikirkanlah secara jernih dan masak-masak segala pilihan yang akan diambil, dengan mempertimbangkan banyak aspek, jangan lupa mohonlah petunjuk kepada NYA. Jika pilihan sudah dijatuhkan, yakinlah dalam pilihan itu,dan jangan pernah bergeming walau evaluasi tetap perlu. Jika sudah demikian kesalahan tetap bernilai 1, sedang pilihan benar bernilai 2. Berbuat baiklah pada semua orang, walau berbeda pandangan dan pendapat. Kebaikan perbuatan dan akhlak lebih bernilai daripada kebenaran dan kebaikan pendapatmu sendiri.
Galilah lebih dalam setiap proses memperoleh ilmu dan pengetahuan.Tidak pernah ada jalan pintas untuk memperoleh kedalaman ilmu dan pengetahuan. Bekerja dan berjuanglah dengan giat , karena tidak pernah pula ada jalan pintas untuk mencapai kemakmuran, apalagi jalan pintas menuju surga. Meski surga itu seluas langit dan bumi bukan berarti jalan masuk kesana mudah. Tekun ibadah dan berbudi mulia adalah jalan untuk memperoleh itu.
Nasehat di atas adalah untuk kebaikan diri saya sendiri, tapi saya ingin sharing dengan teman-teman semua. Karena bagi saya, sebuah nasehat (nasehat yang baik, red) berarti satu kebaikan akan kita dapatkan. Mengapa?? Sebab bila kita menjalankan nasehat tersebut, Insya Allah kita akan berubah menjadi lebih baik dari diri kita yang sebelumnya, Amin.
Baca Selengkapnya...