Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."
Hikmah yang bisa diambil dari cerita di atas adalah setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati. Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi dengan uang.Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan.Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.
Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai.Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus. Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengritik orang lain.
Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji.Kinerjanya begitu buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya. "Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"
Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain? Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.
Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka.
Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.
Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.
Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda.Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain.
Kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik.
Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan,kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri!"
Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama.Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang.Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian.
Ketiga disebut paradigm paralysis.
Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka.Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknya.
sumber: unknown email address