07 Januari 2009

Lilin Yang Ke Empat

Berbagai macam predikat "miring" sudah disandang dengan piala tetap oleh kita (baik sebagai bangsa, kelompok ataupun organisasi), sebut saja sebagai bangsa yang sakit, pemalas, penjiplak, pengutang, terkorup, sarang teroris, tukang gontok-gontokan, dan predikat-predikat jelek lainnya. Stempel ini diberikan oleh berbagai kalangan dan memang sesuai realita yang ada.

Jelas-jelas, misalnya, lampu di perempatan menyala merah, eh, nyelonong terus. Polisi di depan mata pun tak digubris, dan memang tak bisa berbuat apa-apa. Negeri ini seperti tak berhukum. Saat kendaraan tersenggol pengendara lain, mata dipelototkan liar sembari mulut mengumpat: ''Matamu ditaruh di mana?''
Ya, otak siapa sebenarnya yang perlu disekolahkan? Saat begitu, jangan tanya soal kebenaran. Bila tak ingin memanjangkan soal, lebih baik mengalah dan bilang: ''Maaf.'' Wong ngalah iku luhur pungkasane, orang mengalah itu bijaksana. Pemaafan itu kemuliaan.

Memang, sekali waktu mbudek (pura-pura tidak dengar) terasa lebih mulia. Predikat ''sakit'' ini sepertinya mendekati tepat. Simak pula tentang ini seorang mantan jawara yang telah lanjut usia masih petantang-petenteng membawa golok. Jalannya pun tidak tegak lagi. Tapi galaknya minta ampun. Pohon peneduh jalan ditebang, walau bukan dia yang menanam. Ketika ditanya siapa yang bertangan usil? Jawab dia: ''Mau dibabat sekalian?'' Elok tenan!
Ya, otak siapa sebenarnya yang perlu dididik?

Persis saat si pengutang ditagih, dan jawaban dia jauh lebih galak dari yang ngutangin/pemberi hutang. Menagih utang lha kok harus merengek-rengek kayak pengemis. Ada pula yang pura-pura lupa saat ditagih utangnya. Makan hati, ngga? Lebih celaka jika si pengutang membalik omongan: ''Mana bukti utang saya.'' Itulah yang terjadi akhir-akhir ini.

Padahal, orang yang melalaikan umurnya dengan melakukan perbuatan yang sia-sia (walau hanya satu tarikan nafas) terancam penyesalan yang tiada akhir dan kerugian yang tiada habis (pada saat dia tersadar atas segala kekeliruannya). Maka, kata Imam Al-Ghazali, ''Penuhilah seluruh siang dan malam dengan ketaatan.'' Tentunya, terhadap apa saja baik untuk dunia maupun akhirat.

Kepusingan otak saya makin kompleks jika mengamati koran. Musibah tiada henti mulai tsunami, gempa, longsor, banjir, dan lain-lain silih berganti menimpa bangsa ini, dan diperparah oleh kenaikan harga-harga. Industri bakal kolaps. Nelayan pun megap-megap karena harga es (pengawet ikan) dan solar ikut melonjak.

Gelombang PHK bakal tak terelakkan. Pendapatan makin minim. Sistem penggajian di negeri ini juga tak proporsional, dan perlu penataan ulang. Jaraknya bagaikan bumi dan langit, hingga memperdalam jurang kemiskinan. Sementara itu, di mal dan supermarket dipertontonkan
orang berlomba menghabiskan uang.

Rakyat yang tidak punya apa-apa (makanan, pekerjaan, dan harapan) lagi pasti bakal frustrasi. Sebagai ''rumput'', mereka hanya diinjak-injak, tanpa dipedulikan. Sehingga rakyat hanya bisa menaruhkan harapan besar akan adanya perubahan seperti halnya yang ditulis oleh Paulus Winarto dalam Reach Your Maximum Potential.

Adalah kisah empat lilin, yang satu per satu mulai meleleh dan padam. Lilin pertama berkata, ''Aku adalah damai, namun manusia tidak mampu menjaganya. Jadi, lebih baik aku matikan diriku.'' Pet!
Lilin kedua mulai berkata, ''Aku adalah iman. Sayang, aku tidak berguna lagi. Manusia tidak mau mengenalku. Tidak ada gunanya kalau aku tetap menyala.'' Tiupan angin pun mematikannya dalam sekejap. Ruangan mulai agak gelap.
Lilin ketiga gantian berbicara: ''Aku adalah cinta. Aku tidak lagi mampu untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci pada mereka yang mencintai. Membenci keluarga sendiri.'' Lilin ketiga pun
padam.
Tiba-tiba, masuk seorang bocah ke ruangan itu. Perasaan takutnya menyergap. Dia pun menangis, takut pada gelap. Tangisan itu tak lama, karena dihentikan oleh lilin keempat. ''Jangan takut dan jangan menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita akan selalu dapat
menyalakan ketiga lilin lainnya,'' kata lilin keempat. Itulah lilin ''harapan''. Dan, bocah itu pun menyalakan ketiga lilin yang telah padam.

Jadi?
Saya, juga Anda mestinya, tidak perlu "pura-pura tidak dengar" atau tidak mau tahu menghadapi keterpurukan bangsa ini. Kita masih punya titik terang. Kita tak boleh tergoyahkan oleh hal-hal yang menyesatkan. Orang-orang sukses selalu melawan kakalahan dan kesengsaraan, tanpa pernah mengenal menyerah dan kecewa. Juga kita, tentunya!
Walaupun banyak kalangan mengatakan bahwa tahun 2009 krisis ekonomi global bakal semakin terasa dampaknya terhadap perekonomian bangsa ini, ingatlah.... masih ada lilin keempat yang masih menyala dan kita pegang!!!

14 komentar:

The Diary mengatakan...

cerita soal lilin tapi penuh makna...semoga bangsa ini bisa terbebas dari krisis ekonomi

Haris mengatakan...

Jangan berputus asa dari rahmat Allah SWT. Kita mesti senantiasa berusaha, kemudian bertawakal.

marsudiyanto mengatakan...

Semoga empat lilin itu tetap menyala di hati kita, di keluarga kita. Semoga kita mampu menjaganya.
Sukses buat Mbak Peni & Keluarga.

Umi Rina mengatakan...

Setuju Bunda!!!
Kerja keras dan berdoa, pasti Alloh SWT akan membalasnya dengan yang yang setimpal bahkan tak terkira...

Unknown mengatakan...

masih selalu ada harapan ya say... Insya Allah, Allah selalu melindungi negara ini,amin...

EvieJPu mengatakan...

Duh mbak Peni, postingannya bener2 menyentuh,menyadarkan diri kita akan keterpurukan mental bangsa ini..tapi ya itu,semua dimulai dari diri sendiri,klo setiap orang punya kesadaran sendiri,insyaAllah bangsa ini bangkit dari keterpurukan.

"olel" Bunnay mengatakan...

betul bun..harapan itu masih ada :) semoga keempat lilin itu kan selalu menyala di hati setiap insan dan membawa kita menjadi lebih baik lagi, insya Allah :)

Keke Naima mengatakan...

mudah2an lilin ke-4 tidak akan pernah padam y.. :)

Kamilia mengatakan...

harapan adalah lilin terakhir yang memacu semangat, tetapi harapan harus disertasi dengan motivasi yang kuat, etos kerja yang kuat, sehingga harapan tidak hanya harapan, tapi sebuah aplikasi dalam membuat harapan tersebut menjadi kenyataan.
Ada petikan tulisan yang selau saya ingat, dream is not the one you see while you sleep, but dream will not let you fall asleep, jadi mimpi sesungguhnya adalah mimpi yang tidak membuat kita tertidur..
Menghitung kkeburukan bangsa kita memang tidak akan ada habisnya mbak, tapi cobalah kita renungkan, karena dari keburukan tersebut kita mengetahui dan memahami arti keburukan dan membuat diri kita semakin arif dalam menilai segala sesuatu.
Nice post..salam kenal dan salam hangat dari bumi nuklir, islamabad, Pakistan.
www.hildafarha.blogspot.com

Atca mengatakan...

postingannya bagus jenggg..
Semoga bangsa kita selalu dilindungi oleh yang Di Atas

Penny mengatakan...

@Umi Rina: Intinya kita harus TETAP SEMANGAT dalam menghadapi segala cobaan, bukan begitu??

@Kamilia: setuju banget dengan kata-katanya, jangan hanya kita hitung keburukannya, tapi pelajaran yang bisa kita peroleh dari hal-hal tersebut.

Anonim mengatakan...

kita memang biasa hidup di kegelapan.... semoga dengan ini kita bisa lebih mengerti dan menghargai makna sebuah penerangan...

Kamilia mengatakan...

udah saya add di blogroll bunda...thanks add nya ya...
maaf baru bisa balik lagi nih..

Anonim mengatakan...

Nice post...sangat menggugah...(halaah bahasanya EYD banget...)
tapi betul, selama ada kemauan dan kerja keras, selalu ada harapan buat kita semua...

Kalau bicara kemauan sih semua pasti punya...tapi ketika disuruh kerja keras....?
Mau...mau...mauu?

Cheers...